Manusia Tanpa Makna
“Kuliah dimana, Mas?”“Filsafat”
“Whuuuuuusss…”
Fenomena seperti ini sangat sering kita jumpai dewasa ini. Entah kenapa sesuatu yang sifatnya filosofis mulai dihindari dan dijauhi oleh masyarakat kita. Padahal, hal-hal sifatnya asesnsi semacam itu sangat
diperlukan untuk menjadi manusia yang selaras.
Filosofi membantu kita memahami sumber diri kita. Itu membantu kita memahami alasan-alasan dan tujuan kita dalam melakukan suatu perbuatan. Tanpa berfilosofi kita tidak akan pernah memahami sumber kita dan tidak akan bisa menjadi manusia yang selaras.
Tanpa memahami sumber kita, yang ada hanyalah menjadi seorang individu yang hidup hanya dengan perilaku dan hasil, individu yang membuat teori Pavlov menjadi sangat populer . Individu semacam ini mungkin memiliki perilaku dan hasil yang bagus, tetapi cenderung mudah dimanfaatkan oleh orang lain.
Ibaratnya hanya seperti seorang supir taksi yang mengantar penumpang pergi ke manapun, namun dirnya tidak pernah benar-benar memahami mengapa seseorang pergi ke tempat tersebut.Tetapi tentu saya yakin tidak orang yang sama sekali tidak memahami satu pun sumber dalam dirinya. Yang perlu ditingkatan adalah bagaimana kita bisa memahami seluruh sumber yang ada dalam diri kita. Sehingga kita akan menjadi manusia selaras seutuhnya, manusia yang memiliki makna dari setiap perilaku dan perbuatannya. Manusia yang memahami maksud, tujuan, dan konsekuensi atas segala perilakunya.
Bagaimana kita memahami sumber kita? Langkah yang pertama dan utama adalah menghapus phobia terhadap segala sesuatu yang sifatnya filosofis, karena manusia yang selaras seutuhnya memahami
filosofi atas seluruh perbuatannya. Mulai berpikir tentang hal-hal yang sifatnya metafisika dan absurd, karena kita dapat menemukan esensi dari hal-hal semacam itu.
Mulai dari pertanyaan yang paling dasar semisal siapa aku, apa yang aku lalukan, mengapa aku melakukannya hingga pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks. Berpikirlah minimal
tentang dirimu sendiri. Berhentilah sejenak dan menengadahkan kepala ke atas mencari jawaban.
Hal-hal semacam ini yang oleh beberapa orang disebut sebagai bertapa, bersemedi, merenung, dan sebagainya. Hidup bukan hanya tantang melakukan sesuatu dan memperoleh hasil yang terbaik, namun
juga tentang mengapa kita melakukan semua itu.Apabila suatu individu telah berhasil memahami sumbernya, maka individu tersebut akan lebih jernih melihat dunia.
Memahami segala permasalahan dan bagaimana mengatasinya. Terlepas dari kekangan tekanan hidup karena telah mencapai masa depan tanpa perlu terbentuk menjadi sebuah materi.Individu semacam ini akan selalu tenang dalam menjalani kehidupannya dan tidak membabi buta. Pada akhirnya individu yang
selaras seutuhnya akan terhindar dari perilaku membabi buta karena menemukan apa tujuan utama hidupnya dan bagaimana mencapainya.
dikutip dari : http://berpikirberbeda.blogspot.com/
Pendidikan untuk Apa?
menciptakan individu yang berkarakter . Pertanyaan berikutnya adalah masihkah pendidikan seperti itu?
Begitu sibuknya kita terhadap perilaku dan hasil membuat kita terkadang lupa esensi atau sumber murni darimana perilaku itu muncul. Pendidikan dalam bahasa mudahnya adalah untuk membuat individu
yang bodoh menjadi pintar . Namun fenomena saat ini jauh dari sumber murni sebenarnya.
Saat ini berbagai institusi pendidikan terlalu berfokus pada hasil hingga melupakan sumbernya. Mulai dari seleksi penerimaan siswa atau mahasiswa baru misalnya, berbagai institusi mencoba mencari bibit-
bibit unggul agar nantinya bisa memperoleh hasil yang baik pula.
Terkadang beberapa orang bertanya, sebenarnya sekolah unggulan itu memang unggul atau mahasiswanya yang unggul? Bukankah esensi pendidikan adalah untuk mengubah orang bodoh
menjadi pintar , maka seharusnya sekolah unggulan bukanlah sekolah yang memiliki siswa-siswa yang pandai, tetapi sekolah yang memiliki siswa-siswa yang bodoh kemudian sekolah tersebut berhasil
mendidiknya sehingga menjadi pintar . Bukan sekolah yang memiliki siswa-siswa yang pintar dan kemudian memfasilitasi mereka.
Maka keberhasilan sebuah institusi pendidikan tidak seharusnya dilihat dari hasil akhirnya, melainkan dari sejauh mana institusi tersebut berhasil membuat perubahan pada siswa atau mahasiswanya. Pendidikan seharusnya bukan tentang mencari bibit-bibit unggul dengan seleksi, tetapi bagaimana membuat perubahan. Jika kita bandingkan apa yang dilakukan Ki Hadjar dan Ki Ahmad Dahlan yang memungut anak-anak jalanan untuk bersekolah, apa yang terjadi saat ini sungguh ironis.
Namun hal ini tidak hanya terjadi pada tingkatan penyelenggara, namun juga pada tingkatan peserta didik. Peserta didik yang terlalu sibuk mengejar hasil berupa nilai dan ijazah terkadang menciutkan
esensi atau makna dari pendidikan itu sendiri. Bukan sepenuhnya salah institusi penyelenggara atas apa yang
terjadi saat ini, karena mungkin memang seperti inilah harapan peserta didik. Sebuah pendidikan yang mementingkan perilaku dan hasil serta melupakan esensi atau sumber dari pendidikan itu sendiri.
Para peserta didik yang lupa atau mungkin tidak mau tahu tentang sumber dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang hanya dianggap sebagai sebuah formalitas yang harus dijalani dalam hidup ini.
Pendidikan yang melupakan arti dari pendidikan itu sendiri.Lalu apa yang bisa diharapkan dari dunia pendidikan semacam ini? Dunia pendidikan yang meminggirkan filsafat dan memuja perilaku dan hasil, padahal pendidikan adalah tentang pemahaman (sumber). Pendidikan yang selaras, pendidikan yang sesuai antara sumber murni dan hasil itulah sebuah cita-cita.
Dikutip dari : http://berpikirberbeda.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar